Senin, 30 Juni 2014

KEARIFAN LOKAL

TUGAS ILMU ALAMIAH DASAR (IAD)

Nama        : Shelly
Kelas         : 1PA02
NPM          : 18513435
Kearifan Lokal

PENGERTIAN KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM)

Kearifan Lokal (local wisdom) dalam kamus terdiri dari dua kata:kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols danHassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengankebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahamisebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Dalam disiplinantropologi dikenal istilah local genius.Gobyah (2003), mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalahkebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokalmerupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada.Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupunkondisi geografis dalam arti luas.
Kearifan lokal merupakan produk budaya masa laluyang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokaltetapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat universal.
Menurut Caroline Nyamai-Kisia (2010), kearifan lokal adalah sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang dan diteruskan oleh populasitertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan budayasekitarnya.Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakkan pada level lokal dibidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatanmasyarakat pedesaan. Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal.Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikianmenyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalamtradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.

-          KEARIFAN LOKAL
Kearifan atau kebijaksanaan adalah sesuatu yang didambakan umat manusia Di  dunia ini. Kearifan dimulai dari gagasan-gagasan dari individu yang kemudian bertemu dengan gagasan individu lainnya, seterusnya berupa gagasan kolektif. Kearifan lokal ini biasanya dicipta dan dipraktikkan untuk kebaikan komunitas yang menggunakannya. Ada kalanya kearifan lokal itu hanya diketahui dan diamalkan oleh beberapa orang dalam jumlah yang kecil, misalnya desa. Namun ada pula kearifan lokal yang digunakan oleh sekelompok besar masyarakat, misalnya kearifan lokal etnik. 
Kearifan lokal ini juga tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan masyarakat yang mendukungnya. Kearifan lokal, biasanya mencakup semua unsur kebudayaan manusia, yang mencakup: sistem religi, bahasa, ekonomi, teknologi, pendidikan, organisasi sosial, dan kesenian. Kearifan lokal bermula dari ide atau gagasan, yang kemudian diaplikasikan dalam tahapan praktik, dan penciptaan material kebudayaan.  Ia akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, intensitas pergaulan sosial, dan enkulturasi sosiobudaya.  Apalagi dalam dunia yang tidak mengenal batas seperti sekarang ini, kearifan lokal sangat diwarnai oleh wawasan manusia yang memikirkan dan menggunakannya.
Kearifan lokal di peringkat etnik juga bisa bermacam-macam bidang. Misalnya untuk merespons alam sekitar manusia membuat rumah sekalian dengan aspek-aspek spiritual untuk menjaganya. Begitu juga dengan sistem perkawinan, ada yang mendasarkan kepada perkawinan di luar klen (eksogamus), perkawinan untuk kepentingan politik kekuasaan, perkawinan perempuan melamar lelaki atau sebaliknya. Selain itu, kearifan lokal juga tercermina dalam filsafat atau pandangan hidup manusia yang memikirkan dan menggunakannya. Sebagai contoh dalam masyarakat Batak Toba dikenal dengan filsafat dalihan na tolu (DNT), dalam masyarakat Aceh dikenal adat bak petumeuruhom hukom bak syaiah kuala, dalam kebudayaan Minangkabau ada filsafat alam nan takambang menjadi guru, dalam kebudayaan Jawa terdapat filsafat alon-alon waton kelakon dan sederek, dalam masyarakat Sulawesi ada filsafat persaudaraan universal pelagandong, dan lain-lainnya.
Kearifan lokal juga dapat mendukung kepada keberadaan negara bangsa (nation state) tertentu. Bahkan dalam merumuskan sebuah negara bangsa, selalunya diwarnai oleh kearifan-kearifan lokal yang tumbuh dalam masyarakat yang membentuk dan mencita-citakan negara bangsa tersebut. Misalnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mempunyai dasar negara Pancasila, sebenarnya adalah proses pemikiran para pendiri bangsa ini untuk membuat dasar negara yang diambil dan digali dari nilai-nilai kearifan lokal Nusantara. Kearifan-kearifan lokal ini kemudian dirumuskan menjadi lima sila yang berdasar kepada bentuk “ikatan sosial budaya” biar berbeda-beda tetapi tetap satu (bhinneka tunggal ika).
Melalui makalah ini, penulis akan menguraikan beberapa contoh kearifan lokal dalam konteks pembentuka karakter bangsa Indonesia. Kearifan lokal yang dimaksud bisa saja berasal dari kebudayaan etnik, atau pemikiran kebangsaan dari masyarakat Indonesia, dari rentangan masa ke masa. Selanjutnya menjelaskan bagaimana kearifan lokal ini dapat memebentuk karakter bangsa Indoensia, yang seperti kita ketahui memiliki ciri-ciri seperti: suka bergotong royong, religius, nasionalis dan menghargai segala perbedaan dalam konteks persatuan dan kesatuan, pekerja keras, tidak bergaya hidup mewah, dan seterusnya, sebagai karakter yang dicita-citakan bersama, dalam rangka membangun negara bangsa Indonesia. Namun sebelumnya alangkah baiknya diuraiakan bagaimana terbentuknya dan eksistensi negara kita yang disebut Indonesia tersebut.
Indonesia
Secara harfiah, Indonesia berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu dari akar kata Indo yang artinya Hindia dan nesos yang artinya pulau-pulau.  Jadi Indonesia maksudnya adalah pulau-pulau Hindia (jajahan Belanda).  Dalam sejarah ilmu pengetahuan sosial, pencipta awal istilah Indonesia adalah James Richadson Logan tahun 1850, ketika ia menerbitkan jurnal yang berjudul Journal of the India Archipelago and Eastern Asia, di Pulau Pinang, Malaya. Jurnal ini terbit dari tahun 1847 sampai 1859.  Selain beliau, tercatat juga dalam sejarah, yang menggunakan istilah ini adalah seorang Inggris yang bernama Sir William Edward Maxwell tahun 1897.  Ia adalah seorang ahli hukum, pegawai pamongpraja, sekretaris jendral Straits Settlements, kemudian menjabat sebagai Gubernur Pantai Emas (Goudkust). Ia memakai istilah Indonesia dalam bukunya dengan sebutan The Islands of Indonesia.
Yang paling membuat populer istilah Indonesia adalah Prof. Adolf Bastian, seorang pakar etnologi yang ternama.  Dalam bukunya yang bertajuk Indonesian order die Inseln des Malayeschen Archipels (1884-1849), ia menegaskan arti kepulauan ini.  Dalam tulisan ini ia menyatakan bahwa kepulauan Indonesia yang meliputi suatu daerah yang sangat luas, termasuk Madagaskar di Barat sampai Formosa di Timur. Nusantara adalah pusatnya, yang keseluruhannya adalah sebagai satu kesatuan wilayah budaya. Pengertian istilah ini juga digunakan oleh William Marsden (1754-1836), seorang gewestelijk secretaris Bengkulen. Sementara itu, Gubernur Jenderal Jawa di zaman pendudukan Inggris (1811-1816), Sir Stanford Raffles (1781-1826) dalam bukunya yang bertajuk The History of  Java, menyebut juga istilah Indonesia, dengan pengertian yang sama.  Kesatuan kepulauan itu disebut dan dijelaskan pula oleh  John Crawfurd (1783-1868), seorang pembantu Raffles.
Pada awalnya, istilah Indonesia hanya digunakan sebagai istilah ilmu pengetahuan saja.  Namun, ketika pergerakan nasional muncul di sini, nama ini digunakan secara resmi oleh para pemuda Indonesia untuk mengganti istilah Nederlandsch-Indië.  Organisasi yang pertama kali memakai istilah Indonesia adalah  Perhimpunan Indonesia, yaitu satu perkumpulan mahasiswa di Negeri Belanda.
Di zaman penjajahan Belanda, oleh tokoh-tokoh nasional, telah dicoba mengganti istilah Nederlandsch-Indië dengan istilah Indonesia--juga Inboorling, Inlander, dan Inheemsche dengan Indonesiër.  Namun  pemerintah Belanda tetap dengan pendiriannya, dengan alasan yuridis. Namun setelah Undang-undang Dasar Belanda diubah, sejak 20 September 1940, istilah Nederlandsch-Indië diubah menjadi Indonesië.
Selain istilah Indonesia, dikenal pula istilah sejenis yang juga merujuk kepada pengertian Indonesia.  Istilah itu adalah Nusantara.  Istilah ini awal kali dikemukakan oleh Patih Gadjah Mada, seorang panglima kerajaan Majapahit di abd ke-12, ketika ia mengucapkan Sumpah Palapa.  Istilah Nusantara ini mengandung makna kawasan pulau-pulau yang terletak di antara dua samudera dan dua benua.  Berdasarkan sejarah pula, kawasan Nusantara pernah diperintah oleh dua kerajaan besar, yaitu Kerajaan Melayu Sriwijaya, dan Kerajaan Jawa Majapahit.
Indonesia adalah sebuah negara bangsa yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.  Indonesia sebelumnya adalah kawasan-kawasan kepulauan yang mempunyai berbagai sistem pemerintahan kerajaan yang berdiri sendiri.  Adapun secara kesejarahan, Indonesia melewati masa-masa animisme dan dinamisme hingga ke abad pertama Masehi.  Kemudian datanglah kebudayaan Hindu dan Buddha sejak abad pertama hingga kemudian berkembang sampai abad ketiga belas.  Islam pula mulai menampakkan pengaruhnya yang begitu luas dalam kebudayaan Indonesia sejak abad ketiga belas.  Kemudian bangsa-bangsa Eropa terutama dimulai dari Portugis, disusul Belanda dan Inggris menjajah kawasan ini sejak kurun abad keenam belas.  Yang paling lama menjajah Indonesia adalah Belanda, kurang lebih sekitar tiga setengah abad.  Kemudian terjadi pula penjajahan secara singkat oleh Jepang yaitu di tahun 1942 sampai 1945.  Kemudian merdekalah Indonesia, berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa disertai dengan perjuangan fisik dan politik oleh para pemimpinnya.
Pada masa sekarang ini, Indonesia sebagai sebuah negara bangsa merupakn sebuah negara yang sistem pemerintahannya berbentuk republik, dengan sistem yang dianut demokrasi.  Landasan ideologinya Pancasila dan landasan konstitusionalnya Undang-undang Dasar 1945.  Pemerintahan dan negara langsung dipimpin seorang presiden, dengan sistem kabinet presidensial.  Indonesia secara kewilayahan adalah terbentang dari 6 derajat Lintang Utara sampai 11 derajat Lintang Selatan, serta 95 derajat Bujur Timur sampai 145 derajat Bujur Timur.  Terbentang dari Sabang sampai Merauke, serta Timor sampai ke Talaud.  Indonesia adalah sebagai satu kesatuan ideologi, politik, sosial, ekonomi, pertahanan, dan kemanan nasional.  Jumlah penduduk Indonesia sekarang ini adalah sekitar 240 juta jiwa.  Agama resmi Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, ditambah aliran-aliran kepercayaan.  
Indonesia kini sedang mengalami masalah-masalah ekonomi, politik dan pertikaian  bernuansa agama di dalam negeri, dan beberapa daerah sedang berusaha untuk mendapatkan kemerdekaan, yaitu Aceh dan Papua. Timor Timur mendapatkan kemerdekaan pada tahun 2002 setelah 24 tahun dikuasai Indonesia dan 3 tahun di bawah administrasi PBB.  Pada Desember 2004 dan Maret 2005, Aceh dan Nias dilanda dua gempa bumi besar yang totalnya menewaskan ratusan ribu jiwa. (Lihat gempa bumi Samudra Hindia  2004 dan gempa bumi Sumatra Maret 2005.) Kejadian ini disusul oleh gempa bumi di Yogyakarta dan tsunami yang menghantam pantai Pangandaran dan sekitarnya, serta banjir lumpur di Sidoarjo pada 2006 yang tidak kunjung terpecahkan.

Seperti juga di negara-negara demokrasi lainnya, sistem politik di Indonesia  didasarkan pada Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan legislatif dipegang oleh sebuah lembaga bernama Majelis  Permusyawatan Rakyat (MPR) yang terdiri dari dua badan yaitu DPR yang  anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil Partai Politik dan DPD yang  anggota-anggotanya mewakili provinsi yang ada di Indonesia. Setiap daerah diwakili oleh 4 orang yang dipilih langsung oleh rakyat di daerahnya  masing-masing.
Penduduk Indonesia dapat dibagi secara garis besar dalam dua kelompok. Di bagian  barat Indonesia penduduknya kebanyakan adalah suku Melayu sementara di timur adalah suku Papua, yang mempunyai akar di kepulauan Melanesia. Banyak penduduk  Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai bagian dari kelompok suku yang lebih  spesifik, yang dibagi menurut bahasa dan asal daerah, misalnya Jawa, Sunda, atau Batak.   Islam adalah agama mayoritas yang dipeluk oleh sekitar 85,2% penduduk Indonesia,  yang menjadikan Indonesia negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia.  Sisanya beragama Protestan (8,9%), Katolik (3%), Hindu (1,8%), Buddha (0,8%),  dan lain-lain (0,3%). Kebanyakan penduduk Indonesia bertutur dalam bahasa daerah sebagai bahasa ibu, namun bahasa resmi Indonesia, bahasa Indonesia, diajarkan di seluruh sekolah-sekolah di negara ini dan dikuasai oleh hampir seluruh penduduk Indonesia.

Kebudayaan Nasional Indonesia

Sebagai sebuah negara bangsa, Indonesia telah meletakkan dasar konstitusionalnya mengenai kebudayaan nasional, seperti yang termaktub dalam pasal 32 Undang-undang Dasar 1945. Bahkan lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila merentangkan tulisan Bhinneka Tunggal Ika (yang artinya biar berbeda-beda tetapi tetap satu).  Selengkapnya pasal 32 ayat (1) dan (2) berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32
(1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. ****)
(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. ****)

Pasal 32 UUD 1945 yang diamandemen pada kali yang keempat tersebut di atas, pada pasal (1)  memberikan arahan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia, dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengem-bangkan nilai-nilai budayanya. Artinya bangsa Indonesia sadar bahwa budaya nasional mereka berada di dalam arus globalisasi, namun untuk mempertahankan jati diri masyarakat diberi kebebasan dan bahkan sangat perlu memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya (tradisi atau etniknya). Pada pasal  (2)  pula, negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai  kekayaan budaya nasional. Dengan demikian jelas bagi kita bahwa bahasa daerah (dan juga kesenian atau budaya daerah/etnik) sebagai bahagian penting dari kebudayaan nasional. Artinya kebudayaan nasional dibentuk oleh kebudayaan (bahasa) etnik atau daerah--bukan kebudayaan asing. Dengan demikian jelas bahwa Indonesia memiliki budaya nasional, yang berasal dari budaya etnik, bukan penjumlahan budaya etnik.

Beberapa dasawarsa menjelang terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, para intelektual dan aktivis budaya kita telah memiliki gagasan tentang kebudayaan nasional. Dalam konteks ini, mereka mengajukan pemikirannya masing-masing sambil berpolemik apa itu kebudayaan nasional dan ke mana arah tujuannya. Pelbagai tulisan membahas gagasan itu dari berbagai sudut pandang, yang terbit dalam kurun masa dekade 1930-an. 

Sebahagian tulisan ini merupakan hasil dari Permusyawaratan Perguruan Indonesia di Surakarta (Solo), pada 8 sampai 10 Juni 1935. Di antara intelektual budaya yang mengemukakan gagasannya adalah: Sutan Takdir Alisyahbana (STA) pengarang dan juga mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta; Sanusi Pane, seorang pengarang; Soetomo, dokter dan pengarang; Tjindarbumi, wartawan; Poerbatjaraka, pakar filologi; Ki Hajar Dewantara, pendiri dan pemimpin perguruan nasional Taman Siswa (lihat Koentjaraningrat 1995).

Gagasan-gagasan mereka secara garis besar adalah sebagai berikut. Sutan Takdir Alisyahbana yang berasal dari Sumatera, berpendirian bahwa gagasan kebudayaan nasional Indonesia, yang dalam artikelnya diistilahkan dengan Kebudayaan Indonesia Raya, sebenarnya baru mulai muncul dan disadari pada awal abad kedua puluh, oleh generasi muda Indonesia yang berjiwa dan bersemangat keindonesiaan. Menurutnya, sebelum gagasan Indonesia Raya disadari dan dikembangkan, yang ada hanyalah kebudayaan-kebudayaan suku bangsa di daerah. STA menganjurkan agar generasi muda Indonesia tidak terlalu tersangkut dalam kebudayaan pra-Indonesia, dan dapat membebaskan diri dari kebudayaan etniknya--agar tidak berjiwa provinsialis, tetapi dengan semangat Indonesia baru. Kebudayaan Nasional Indonesia merupakan satu kebudayaan yang dikreasikan, yang baru sama sekali, dengan mengambil banyak unsur dari kebudayaan yang kini dianggap paling universal, yaitu budaya Barat. Unsur yang diambil terutama dalam 4 bidang yaitu teknologi, orientasi ekonomi, organisasi, dan sains (ilmu pengetahuan). Orang Indonesia harus mempertajam rasio akalnya dan mengambil dinamika budaya Barat.  Pandangan ini mendapat sanggahan sengit dari beberapa pemikir lainnya.

Sanusi Pane yang juga berasal dari Sumatera, menyatakan bahwa kebudayaan nasional Indonesia sebagai kebudayaan Timur, harus mementingkan aspek kerohanian, perasaan, dan gotong-royong, yang bertentangan dengan kebudayaan Barat yang sangat berorientasi kepada materi, intelektualisme, dan individualisme. Sanusi Pane tidak begitu setuju dengan STA yang dianggapnya dalam menggagas kebudayaan nasional Indonesia terlalu berorientasi kepada kebudayaan Barat dan harus membebaskan diri dari kebudayaan pra-Indonesia. Karana itu berarti pemutusan diri dari kesinambungan sejarah budaya dalam rangka memasuki zaman Indonesia baru.

Poerbatjaraka menganjurkan agar orang Indonesia banyak mempelajari sejarah kebudayaannya, agar dapat membangun kebudayaan yang baru. Kebudayaan Indonesia baru itu harus berakar kepada kebudayaan Indonesia sendiri atau kebudayaan pra-Indonesia. 

Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa kebudayaan nasional Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah.  Soetomo menganjurkan pula agar dasar-dasar sistem pendidikan pesantren dipergunakan sebagai dasar pembangunan pendidikan nasional Indonesia, yang ditentang oleh STA. Sementara itu, Adinegoro mengajukan sebuah gagasan yang lebih moderat, yaitu agar pendidikan nasional Indonesia didasarkan pada kebudayaan nasional Indonesia, sedangkan kebudaya-annya harus memiliki inti dan pokok yang bersifat kultur nasional Indonesia, tetapi dengan kulit (peradaban) yang bersifat kebudayaan Barat.

Sebuah gagasan akan dilanjutkan ke dalam praktik, agar fungsional dalam masyarakat pendukungnya.  Fungsi sebuah gagasan bisa saja relatif sedikit, namun boleh pula menjadi banyak. Demikian pula gagasan kebudayaan nasional memiliki berbagai fungsi dalam negara Indonesia merdeka.  Koentjaraningrat (1995) seorang ilmuwan antropologi kenamaan Indonesia, menyebutkan bahwa kebudayaan nasional Indonesia memiliki dua fungsi, yaitu: (i) sebagai suatu sistem gagasan dan pralambang yang memberi identitas kepada warga negara Indonesia dan (ii) sebagai suatu sistem gagasan dan pralambang yang dapat dipergunakan oleh semua warga negara Indonesia yang bhinneka itu, untuk saling berkomunikasi, sehingga memperkuat solidaritas. Dalam fungsinya yang pertama, kebudayaan nasional Indonesia memiliki tiga syarat: (1) harus merupakan hasil karya warga negara Indonesia, atau hasil karya orang-orang zaman dahulu yang berasal dari daerah-daerah yang sekarang merupakan wilayah negara Indonesia; (2) unsur itu harus merupakan hasil karya warga negara Indonesia yang tema pikirannya atau wujudnya mengandung ciri-ciri khas Indonesia; dan (3) harus sebagai hasil karya warga negara Indonesia lainnya yang dapat menjadi kebanggaan mereka semua, sehingga mereka mau mengidentitaskan diri dengan kebudayaan tersebut.

Dalam fungsi kedua, harus ada tiga syarat yaitu dua di antaranya sama dengan syarat nomor satu dan dua  fungsi pertama, syarat nomor tiga yaitu harus sebagai hasil karya dan tingkah laku warga negara Indonesia yang dapat dipahami oleh sebahagian besar orang Indonesia yang berasal dari kebudayaan suku-suku bangsa, umat agama, dan ciri keturunan ras yang aneka warna, sehingga menjadi gagasan kolektif dan unsur-unsurnya dapat berfungsi sebagai wahana komunikasi dan sarana untuk menumbuhkan saling pengertian di antara aneka warna orang Indonesia, dan mempertingi solidaritas bangsa.

Menurut penulis, dalam proses pembentukan budaya nasional Indonesia, selain orientasi dan fungsinya, juga harus diperhatikan keseimbangan etnisitas, keadilan, dan kejujuran dalam mengangkatnya dari lokasi daerah (etnik) ke tingkat  nasional.  Sebaiknya proses ini terjadi secara wajar, alamiah dan natural, dan bukan bersifat pemaksaan pusat terhadap daerah atau sebaliknya. Di samping itu proses itu harus pula menyeimbangkan antara bhinneka dan ikanya budaya Indonesia. Perlu disadari pula bahwa budaya nasional bukan penjumlahan kuantitatif budaya etnik Indonesia. Budaya nasional terjadi sebagai proses dialogis antara budaya etnik dan setiap etnik merasa memilikinya.

Kearifan Lokal dalam Konteks Pembentukan Karakter Bangsa
          Setelah diuraikan secara panjang lebar tentang  eksistensi Indonesia sebagai bangsa dan kebudayaan nasionalnya, maka berikut ini akan dicari dan dikaji bagaimana kearifan-kearifan lokal yang ada di Indonesia dalam konteks pembentukan karakter bangsa. Kearifan-kearifan lokal di Indoensia ini sangat kaya, beragam, dan menyebar di keseluruhan kawasan di Indonesia. Kearifan lokal ini umumnya dapat dijumpai dalam adat. Istilah inilah yang menjadi dasar dari kearifan lokal bangsa Indonesia. Adat dijumpai dalam kebudayaan etnik di seluruh Indonesia. Adat masyarakat Nusantara ini, memiliki konsep-konsepnya sendiri pula. Di Aceh adatnya disebut dengan adat bak petumeuruhom hukom bak syiah kuala. Dalam kebudayaan Minangkabau adat dikonsepkan sebagai adat basandikan syarak, syarak basandikan kitabullah, syarak mangato, adat mamakai. Berikut dideskripsikan konsep kearifan lokal (adat) Melayu.

Menurut  Lah Husni  adat pada etnik Melayu  tercakup  dalam empat  ragam,  iaitu: (1) adat yang sebenar adat;  (2)  adat yang  diadatkan;  (3)  adat  yang  teradat,  dan  (4)   adat istiadat.  (1) Adat yang sebenar adat adalah apabila menurut waktu dan keadaan, jika dikurangi akan merusak, jika dilebihi akan mubazir  (sia-sia).   Proses ini berdasar kepada:  (a)  hati nurani  manusia budiman, yang tercermin dalam  ajaran  adat: Pisang emas bawa belayar; Masak sebiji di dalam peti; Hutang emas dapat dibayar; Hutang budi dibawa mati.  (b)  kebenaran yang  sungguh ikhlas, dengan berdasar pada:  berbuat  karena Allah bukan karena ulah; (c) keputusan yang berpadan, dengan berdasar  kepada:  hidup  sandar-menyandar,  pisang   seikat digulai  sebelanga,  dimakan bersama-sama.  yang  benar  itu harus   dibenarkan,  yang  salah  disalahkan.   Adat   murai berkicau,  tak  mungkin menguak.  Adat  lembu  menguak,  tak mungkin  berkicau.   Adat sebenar adat  ini  menurut  konsep etnosains Melayu adalah: penuh tidak melimpah, berisi  tidak kurang,  yang  besar dibesarkan, yang  tua  dihormati,  yang kecil  disayangi,  yang sakit diobati, yang  bodoh  diajari, yang benar diberi hak, yang kuat tidak melanda, yang  tinggi tidak   menghimpit,   yang  pintar   tidak   menipu,   hidup berpatutan,  makan berpadanan.  Jadi ringkasnya,  hidup  itu seharusnya  harmonis,  baik mencakup diri  sendiri,  seluruh negara,  dan  lingkungan  hidupnya. Tidak  ada  hidup   yang bernafsi-nafsi.  Inilah adat yang tidak boleh berubah (Lah Husni, 1986:51).

(2)  Adat yang diadatkan adalah adat itu  bekerja  pada suatu  landasan  tertentu,  menurut  mufakat  dari  penduduk daerah  tersebut--kemudian  pelaksanaannya  diserahkan  oleh rakyat kepada yang dipercayai mereka. Sebagai pemangku adat adalah  seorang  raja atau penghulu.  Pelaksanaan  adat  ini wujudnya  adalah  untuk  kebahagiaan  penduduk,  baik  lahir ataupun batin, dunia dan akhirat, pada saat itu dan saat yang akan  datang.  Tiap-tiap negeri itu mempunyai  situasi  yang berbeda  dengan  negeri-negeri  lainnya,  lain  lubuk   lain ikannya  lain padang lain belalangnya. Perbedaan  keadaan, tempat,  dan kemajuan sesuatu negeri itu membawa  resam  dan adatnya sendiri, yang sesuai dengan kehendak rakyatnya, yang diwarisi  dari leluhurnya.  Perbedaan  itu  hanyalah  dalam lahirnya saja, tidak dalam hakikinya.   Adat yang  diadatkan ini  adalah  sesuatu  yang  telah  diterima  untuk menjadi kebiasaan atau peraturan yang diperbuat bersama atas mufakat menurut ukuran yang patut dan benar, yang dapat dimodifikasi sedemikian  rupa  secara fleksibel.  Dasar  dari adat  yang diadatkan  ini  adalah: penuh tidak melimpah,  berisi  tidak kurang, terapung tidak hanyut, terendam tidak basah (Lah Husni, 1986:62).

(3)  Adat yang teradat adalah kebiasaan-kebiasaan  yang secara  berangsur-angsur  atau cepat menjadi  adat.  Sesuai dengan  pepatah:  sekali  air bah,  sekali  tepian  berpindah, sekali  zaman beredar, sekali adat berkisar.  walau  terjadi perubahan adat itu, inti adat tidak akan lenyap: adat pasang turun-naik,  adat  api  panas,  dalam  gerak  berseimbangan, di antara akhlak dan pengetahuan.  Perubahan itu hanya  terjadi dalam  bentuk ragam, bukan dalam hakiki dan  tujuan  semula.  Umpamanya jika dahulu orang memakai tengkuluk atau ikat kepala dalam suatu majelis, kemudian sekarang memakai kopiah itu menjadi  pakaian yang teradat.  Jika dahulu berjalan  berkeris atau  disertai  pengiring, sekarang tidak  lagi. Jika  dahulu warna  kuning  hanya raja yang  boleh  memakainya,  sekarang siapa pun boleh memakainya (Lah Husni, 1986:62).

(4)   Adat  istiadat  adalah  kumpulan  dari   berbagai kebiasaan,  yang  lebih  banyak  diartikan tertuju   kepada upacara khusus seperti adat: perkawinan, penobatan raja, dan pemakaman  raja. Jika hanya adat saja  maka  kecenderungan pengertiannya adalah sebagai himpunan hukum, misalnya: hukum  ulayat, hak asasi dan sbagainya. Dalam konteks kebudayaan Melayu, adat istiadat ini mencakup daur hidup manusia Melayu, yang tercermin dalam upacara melenggang perut saat perempuan Melayu hamil. Kemudian upacara kelahiran, akikah, manabalkan nama, bercukur, dan memijak tanah. Seterusnya upacara khitanan pada saat akil baligh. Kemudian ada pula upacara perkawinan adat Melayu, yang mencakup tahapan-tahapan seperti merisik kecil, meminang, jamu sukut, akad nikah, hempang pintu, hempang batang, hempang kipas, duduk di pelaminan, mandi bedimbar, meminjam pengantin, dan setersnya. Selanjutnya ada pula upacara kematian, membaca Yassin, kirim doa, dan seterusnya. Dalam kebudayaan Melayu terdapat juga upacara-upacara yang bersifat menyatu dengan alam (kosmologi) seperti mulaka nukah, mulaka ngerbah, jamu laut, mandi Syafar, dan lain-lainnya. Yang jelas adat istiadat Melayu lahir karena respins terhadap alam.

Contoh Kearifan Lokal yang ada di Indonesia

-Dalam adat Melayu kearifan-kearifan lokal dalam konteks membentuk kepribadian dan kebangsaan, sangat lekat dengan  konsep adat yang diadatkan. Bahwa orang Melayu sangatlah menghargai pemimpin seperti sultan, raja, perdana menteri, menteri, panglima, penghulu, ketua mukim, dan lain-lainnya. Orang Melayu perlu memiliki pemimpin yang adil, bijaksana, bisa diperaya (amanah), selalu berusaha untuk benar dalam hidup, dan lain-lainnya. Pemimpin menjadi sebuah kewajiban dalam tata pemerintahan dan politik dalam kebudayaan Melayu. Seperti tercermin dalam ajaran adat: Apa tanda Melayu jati/ mengangkat pemimpin bijak bestari/ Apa tanda Melayu jati/ Pemimpin dan ulama mesti bersebati. Dengan adanya pemimpin dan rakyat yang dipimpin menjadikan umat Melayu memiliki tata pemerintahnya dan selanjutnya ketika nasionalisme muncul mereka membentuk negara bangsa. Ini salah satu karakter kepemimpinan yang bisa diterapkan dalam konteks menuju karakter bangsa.

Dalam adat Melayu juga dikenal kearifan lokal, bahwa hidup dikandung adat, biar mati anak asal jangan mati adat. Artinya bahwa orang Melayu sangatlah memperhatikan kesinambungan dan pendidikkan kebudayaan. Bila adat itu lestari maka akan lestarilah kebudayaan Melayu. Jika keturunan kita berbuat salah maka kita jangan segan memberikan hukuman atau sangsi sosial sebagaimana yang berlaku.

-Bukan saja kearifan lokal Melayu, beberapa kelompok etnik di Nusantara ini juga memiliki kearifan lokal yang berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa. Misalnya pada etnik Nias, sistem penggolongan derajat manusia berasaskan tingkat-tingkat kehidupan, dimulai dari janin sampai kehidupan akhirat.  Pengertian bosi ini mencakup dua belas tingkat kehidupan.  Dalam konteks ini, bosi nantinya mengarahkan manusia untuk berusaha mencapai tingkat tertinggi, agar setelah ia mati, akan memperoleh kebahagiaan di dalam teteholi ana’a (sorga).  Adapun pembagian bosi itu adalah: fangaruwusi (memperlihatkan kandungan); tumbu (lahir); famatoro doi (memberi nama); famoto (sirkumsisi); falowa (kawin); famadadao omo (membangun rumah); fa’aniha banua (memasuki persekutuan desa); famaoli (menjadi anggota adat); fangai toi (mengambil gelar); fa’amokho (kekayaan); mame’e go banua (menjamu orang se desa) dan mame’e go nori (menjamu orang satu ori, beberapa desa (Dasa Manao et al. 1998:195-196). Inti dari kearifan lokal itu adalah, bahwa sebagai sebuah suku dan juga bangsa setiap orang Nias selalu berinteraksi dan menjadi bahagian komunitas sosial. Dalam hal ini seorang pemimpin sosial mestilah mampu memberikan rezekinya kepada orang lain. Seorang pemimpin adalah tangan di atas bukan di bawah.

-Selain itu kearifan lokal dalam konteks pembangunan karakter bangsa juga terdapat dalam kebudayaan Batak Toba. Sebagai satu kesatuan etnik, orang-orang Batak Toba mendiami suatu daerah kebudayaan (culture area) yang disebut dengan Batak Toba.  Mereka disebut orang Toba.  Menurut Vergouwen, masyarakat Batak Toba mengenal beberapa kesatuan tempat yaitu: (1) kampung, lapangan empat persegi dengan halaman yang bagus dan kosong di tengah-tengahnya, (2) huta, “republik” kecil yang diperintah seorang raja, (3) onan, daerah pasar, sebagai satu kesatuan ekonomi, (4) homban (mata air), (5) huta parserahan, kampung induk dan lain-lain (Vergouwen 1964:119-141). Inti ajaran kearifan lokal seperti terurai di atas adalah bahwa kita hidup adalah sebagai makhluk sosial yang nemerlukan dan diperrlukan oleh orang lain baik di peringkat kelompok sosial kecil sampai yang besar, termasuk bernegara.


-Contoh kearifan dan pengetahuan local yang lain adalah di Sulawesi Selatan pada masyarakat adat Tanatowa, Kajang, Kabupaten Bulukumba. Masyarakat adat ini memiliki bentuk perilaku positif dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitar, yang bersumber dari nilai-nilai
 agama, adat-istiadat, dan petuah-petuah ba-ik yang diwariskan secara lisan maupun bukan lisan. Sumber nilai tersebut dikenal dengan nama Pasang ri Kajang, berupa pesan leluhur (teks lisan) yang berisi 120 pasal, dan 19 pasal di antaranya berisi sistem pengelolaan lingkungan. Salah satu pasal dari pesan tersebut berbunyi: Anjo boronga anre nakkulle nipanraki. Punna nipanraki boronga, nupanraki kalennu (Hutan tidak boleh dirusak. Jika engkau merusaknya, maka sama halnya engkau merusak dirimu sendiri). Selain itu, kita ju-ga bisa melihat pasal lain yang berbunyi: Anjo natahang ri boronga karana pasang. Rettopi tanayya rettoi ada (Hutan bisa lestari karena dijaga oleh adat. Bila bumi hancur, maka hancur pula adat).
Dalam kaitan itu, pada masyarakat adat ini dikenal adanya pembagian ka-wasan, yaitu pertama, kawasan untuk budidaya untuk dinikmati bersama; kedua, kawasan hutan kemasyarakatan yang setiap warga diperbolehkan menebang pohon, tetapi harus terlebih dahulu menanam po­hon pengganti; dan ketiga, kawasan hutan adat (borong karamaq) yang sama sekali tidak boleh dirambah (Basri Andang, 2006). Pelanggaran terhadap ketentuan adat ini akan dijatuhi sanksi adat, dalam bentuk pangkal cambuk atau denda uang dalam jumlah tertentu, sesuai dengan ada’ tanayya, sebuah sistem peradilan adat Ka-jang. Mereka juga memiliki lembaga adat yang disebut dengan tau limayya (or-ganisasi yang beranggotakan lima orang), dipimpin oleh seseorang yang bergelar ammatowa, yang tugas utamanya mengatur penebangan pohon, pengambilan rotan, dan pemanenan lebah madu di hutan adat, serta penangkapan udang.
Kearifan masyarakat adat Kajang dalam mengelola sumber daya alamnya memang diartikulasikan lewat media-media tradisional seperti mitos, ritual, dan pesan-pesan leluhur, tetapi sesungguhnya me-ngandung pengetahuan ekologis, yaitu sis­tem pengetahuan mengenai fungsi hutan sebagai penyeimbang ekosistem. Bahkan uraian di atas memperlihatkan empat ele-men kearifan lingkungan, yaitu sistem ni-lai, teknologi, dan lembaga adat. Tidak hanya pada masyarakat adat Kajang, di Sulawesi Selatan terdapat sejumlah masya­rakat lokal yang memiliki kearifan lingku­ngan, seperti lontaraq (kitab) Sawitto yang menyimpan pengetahuan tentang cara me-motong pohon untuk tiang rumah, dan per-lunya mengganti pohon yang ditebang de­ngan pohon baru; peran lembaga adat uwaq atau uwattaq pada masyarakat Towani Tolotang di Kabupaten Sidenreng Rappang dalam mengontrol pemanfaatan sumber da­ya alam; peran ritual dan aluk pada orang Toraja yang berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang; upacara macceraq tasiq (membersihkan laut) yang pernah dipraktikkan oleh orang Luwu di masa lalu; dan lain-lain. Dalam kaitan dengan upaya konservasi atau pengembangan sistem pengelolaan lingkungan yang berkelan-jutan, bentuk-bentuk kearifan lingkungan sebagaimana dikemukakan ini menjadi penting dan dapat disinergikan dengan sis­tem pengetahuan modern. Hal ini juga telah ditegaskan dalam UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa aspek perilaku manusia me-rupakan bagian yang integral dalam pengelolaan lingkungan hidup. Contoh konservasi yang menarik dikemukakan adalah inisiatif masyarakat dalam peng-hijauan bakau di Tongke-tongke, pesisir Timur Kabupaten Sinjai pada paruh awal tahun 1990-an (Robinson & Paeni, 2005). Penanaman bakau ini dimaksudkan untuk melindungi kampung dan tambak ma­syarakat setempat dari abrasi. Mereka membuat aturan penebangan pohon yang dilakukan dalam siklus tujuh tahunan. Usa-ha ini melahirkan dampak ekonomis, di mana penduduk dapat memperoleh tam-bahan pendapatan ekonomi keluarga de­ngan mengumpulkan akar-akar bakau yang sudah mati untuk kebutuhan kayu bakar rumah tangga. Namun, belakangan usaha ini melahirkan konflik yang melibatkan masyarakat menyangkut status kepemilikan antar Dinas Kehutanan Kabupaten Sinjai yang memiliki otoritas untuk mengatur penebangan, dan Dinas Perikanan yang memiliki wewenang menebang bakau untuk dijadikan tambak.
Kembali pada system hukum yang ada, bahwa sumberdaya alam yang me-nguasai hak hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, maka partisipasi/ keberadaan masyarakat local baik secara individu mau-pun komunal diabaikan dan kalah oleh ke-pentingan pemodal (perusahaan dan agen kapitalisme global). Pemerintah lupa akan pentingnya tradisi atau kebudayaan masya­rakat dalam mengelola lingkungan, seringkali budaya lokal dianggap sesuatu yang sudah ketinggalan di abad sekarang ini, sehingga perencanaan pembangunan se-ringkali tidak melibatkan masyarakat, padahal mereka menggantungkan hidupnya juga dari sumber daya alam itu, sehingga banyak terjadi konflik konflik.
Konflik tersebut bisa kita lihat dari sejarah pengeksploitasian sumberdaya alam dan hutan terjadi antara masyarakat yang pro dan kontra, antara masyarakat yang dirugikan dengan pihak perusahaan yang dalam hal ini sudah mendapatkan izin eks-ploitasi oleh Negara, dan juga antara ma­syarakat dengan Negara sendiri seperti yang terjadi dalam eksploitasi mineral di Papua dimana masyarakat local berhadapan dengan Freeport, masyarakat Sumatera Utara dengan Indorayon, Masyarakat Sum-bawa dengan Newmont Nusa Tenggara, dan lain sebagainya. Apabila kita melihat kasus tersebut, bisa diketahui bahwa sumber konflik tersebut antara lain per-tama, karena menguatnya intervensi modal dalam system ekonomi nasional, sebab kemajuan Negara dilihat dari pendapatan perkapitanya, sehingga berujung pada pemihakan yang berlebihan pada pemodal. Kedua, dominannya Negara atau Peme-rintah dalam memposisikan diri sebagai yang paling berhak atas penentuan arah pembangunan, sehingga sentralisasi kepu-tusan dan kebijakan pemerintah menjadi hal yang wajar saja, tidak memperdulikan keberadaan masyarakat lokal yang juga mempunyai andil dalam pemanfaatan sum­berdaya tersebut yang melahirkan me-kanisme penaklukan terhadap mereka. Pengetahuan mereka dianggap tidak ilmiah dan tidak mempunyai metode dan tidak bisa dipertanggung jawabkan, sehingga mereka menjadi termajinalkan. Ketiga, melemahnya jaminan dan perlindungan formal Negara terhadap hak-hak masya­rakat local dalam perundang-undangan nasional.Berbagai masalah, seperti Freeport, telah lama mendapat perhatian para ahli yang tergolong strukturalis. Salah satu pendekatan strukturalis adalah pendekatan aktor yang diperkenalkan Bryant and Beiley melalui buku yang berjudul The Third World Political Ecology (2001). Pendekatan ini berpijak pada konsep politicized environment yang memiliki asumsi bahwa persoalan lingkungan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi. Jadi masalah ling­kungan bukanlah masalah teknis penge-lolaan semata.


Penutup

            Dari contoh-contoh di atas tergambar dengan jelas bahwa kearifan lokal masyarakat Nusantara terkodifikasi dalam adat. Adat masyarakat Nusantara ini memiliki konsep-konsepnya tersendiri di setiap kelompok etnik. Dalam kearifan lokal Nusantara terdapat nilai-nilai untuk membentuk karakter bangsa. Nilai-nilai tersebut mencakup: sistem kepemimpinan, hubungan sosial, hidup secara berkelompok, pentingnya berbagi materi dan pengalaman kepada orang lain, belajar terus dari alam, nilai-nilai gotong royong, bagaimana menghadapi perubahan dan globalisasi, sadar akan makhluk yang mulai dari kecil, dewasa, sampai meninggal, hidup tidak boleh sombong, dan seterusnya.

            Sebagai sebuah bangsa yakni bangsa Indonesia kita berkarakter positif yang dapat digali nilai karakter berbangsa itu dari kearifan lokal (etnik). Di antara karakter bangsa itu adalah: bersama secara sosial dan bergotong royong, menerapkan nilai-nilai kebenaran berdasarkan agama dan adat, memiliki pemimpin, menghormati pemimpin, bertindak secara benar, amanah, menjaga persatuan, tidak menghujat, dan seterusnya. Dengan demikian, maka kearifan lokal ini perlu terus digali dalam rangka menumbuhkan karakter berbangsa dan bernegara. Wassalam.

Sumber :