TUGAS ILMU ALAMIAH DASAR (IAD)
Nama : Shelly
Kelas : 1PA02
NPM : 18513435
Kearifan
Lokal
PENGERTIAN KEARIFAN
LOKAL (LOCAL WISDOM)
Kearifan Lokal
(local wisdom) dalam kamus terdiri dari dua kata:kearifan (wisdom) dan lokal
(local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols danHassan Syadily, local
berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengankebijaksanaan. Secara
umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahamisebagai gagasan-gagasan
setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,bernilai baik, yang
tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Dalam
disiplinantropologi dikenal istilah local genius.Gobyah (2003), mengatakan
bahwa kearifan lokal (local genius) adalahkebenaran yang telah mentradisi atau
ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokalmerupakan perpaduan antara nilai-nilai
suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada.Kearifan lokal terbentuk sebagai
keunggulan budaya masyarakat setempat maupunkondisi geografis dalam arti luas.
Kearifan lokal
merupakan produk budaya masa laluyang patut secara terus-menerus dijadikan
pegangan hidup. Meskipun bernilai lokaltetapi nilai yang terkandung didalamnya
dianggap sangat universal.
Menurut Caroline Nyamai-Kisia (2010), kearifan
lokal adalah sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang dan
diteruskan oleh populasitertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka
terhadap alam dan budayasekitarnya.Kearifan lokal adalah dasar untuk
pengambilan kebijakkan pada level lokal dibidang kesehatan, pertanian,
pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatanmasyarakat pedesaan. Dalam
kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal.Kearifan budaya lokal
sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikianmenyatu dengan sistem
kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalamtradisi dan mitos yang
dianut dalam jangka waktu yang lama.
-
KEARIFAN LOKAL
Kearifan atau kebijaksanaan adalah sesuatu yang
didambakan umat manusia Di dunia ini.
Kearifan dimulai dari gagasan-gagasan dari individu yang kemudian bertemu
dengan gagasan individu lainnya, seterusnya berupa gagasan kolektif. Kearifan
lokal ini biasanya dicipta dan dipraktikkan untuk kebaikan komunitas yang
menggunakannya. Ada kalanya kearifan lokal itu hanya diketahui dan diamalkan
oleh beberapa orang dalam jumlah yang kecil, misalnya desa. Namun ada pula
kearifan lokal yang digunakan oleh sekelompok besar masyarakat, misalnya
kearifan lokal etnik.
Kearifan lokal ini
juga tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan masyarakat yang mendukungnya.
Kearifan lokal, biasanya mencakup semua unsur kebudayaan manusia, yang
mencakup: sistem religi, bahasa, ekonomi, teknologi, pendidikan, organisasi
sosial, dan kesenian. Kearifan lokal bermula dari ide atau gagasan, yang
kemudian diaplikasikan dalam tahapan praktik, dan penciptaan material
kebudayaan. Ia akan terus berkembang
sesuai dengan perkembangan zaman, intensitas pergaulan sosial, dan enkulturasi
sosiobudaya. Apalagi dalam dunia yang
tidak mengenal batas seperti sekarang ini, kearifan lokal sangat diwarnai oleh
wawasan manusia yang memikirkan dan menggunakannya.
Kearifan lokal di
peringkat etnik juga bisa bermacam-macam bidang. Misalnya untuk merespons alam
sekitar manusia membuat rumah sekalian dengan aspek-aspek spiritual untuk
menjaganya. Begitu juga dengan sistem perkawinan, ada yang mendasarkan kepada
perkawinan di luar klen (eksogamus), perkawinan untuk kepentingan politik
kekuasaan, perkawinan perempuan melamar lelaki atau sebaliknya. Selain itu,
kearifan lokal juga tercermina dalam filsafat atau pandangan hidup manusia yang
memikirkan dan menggunakannya. Sebagai contoh dalam masyarakat Batak Toba
dikenal dengan filsafat dalihan na tolu (DNT), dalam masyarakat Aceh dikenal
adat bak petumeuruhom hukom bak syaiah kuala, dalam kebudayaan Minangkabau ada
filsafat alam nan takambang menjadi guru, dalam kebudayaan Jawa terdapat
filsafat alon-alon waton kelakon dan sederek, dalam masyarakat Sulawesi ada
filsafat persaudaraan universal pelagandong, dan lain-lainnya.
Kearifan lokal juga
dapat mendukung kepada keberadaan negara bangsa (nation state) tertentu. Bahkan
dalam merumuskan sebuah negara bangsa, selalunya diwarnai oleh
kearifan-kearifan lokal yang tumbuh dalam masyarakat yang membentuk dan
mencita-citakan negara bangsa tersebut. Misalnya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang mempunyai dasar negara Pancasila, sebenarnya adalah
proses pemikiran para pendiri bangsa ini untuk membuat dasar negara yang
diambil dan digali dari nilai-nilai kearifan lokal Nusantara. Kearifan-kearifan
lokal ini kemudian dirumuskan menjadi lima sila yang berdasar kepada bentuk
“ikatan sosial budaya” biar berbeda-beda tetapi tetap satu (bhinneka tunggal
ika).
Melalui makalah
ini, penulis akan menguraikan beberapa contoh kearifan lokal dalam konteks
pembentuka karakter bangsa Indonesia. Kearifan lokal yang dimaksud bisa saja
berasal dari kebudayaan etnik, atau pemikiran kebangsaan dari masyarakat
Indonesia, dari rentangan masa ke masa. Selanjutnya menjelaskan bagaimana
kearifan lokal ini dapat memebentuk karakter bangsa Indoensia, yang seperti
kita ketahui memiliki ciri-ciri seperti: suka bergotong royong, religius,
nasionalis dan menghargai segala perbedaan dalam konteks persatuan dan
kesatuan, pekerja keras, tidak bergaya hidup mewah, dan seterusnya, sebagai
karakter yang dicita-citakan bersama, dalam rangka membangun negara bangsa
Indonesia. Namun sebelumnya alangkah baiknya diuraiakan bagaimana terbentuknya
dan eksistensi negara kita yang disebut Indonesia tersebut.
Indonesia
Secara harfiah, Indonesia berasal dari bahasa
Yunani Kuno, yaitu dari akar kata Indo yang artinya Hindia dan nesos yang
artinya pulau-pulau. Jadi Indonesia
maksudnya adalah pulau-pulau Hindia (jajahan Belanda). Dalam sejarah ilmu pengetahuan sosial,
pencipta awal istilah Indonesia adalah James Richadson Logan tahun 1850, ketika
ia menerbitkan jurnal yang berjudul Journal of the India Archipelago and
Eastern Asia, di Pulau Pinang, Malaya. Jurnal ini terbit dari tahun 1847 sampai
1859. Selain beliau, tercatat juga dalam
sejarah, yang menggunakan istilah ini adalah seorang Inggris yang bernama Sir
William Edward Maxwell tahun 1897. Ia
adalah seorang ahli hukum, pegawai pamongpraja, sekretaris jendral Straits Settlements,
kemudian menjabat sebagai Gubernur Pantai Emas (Goudkust). Ia memakai istilah
Indonesia dalam bukunya dengan sebutan The Islands of Indonesia.
Yang paling membuat populer istilah Indonesia
adalah Prof. Adolf Bastian, seorang pakar etnologi yang ternama. Dalam bukunya yang bertajuk Indonesian order
die Inseln des Malayeschen Archipels (1884-1849), ia menegaskan arti kepulauan
ini. Dalam tulisan ini ia menyatakan
bahwa kepulauan Indonesia yang meliputi suatu daerah yang sangat luas, termasuk
Madagaskar di Barat sampai Formosa di Timur. Nusantara adalah pusatnya, yang
keseluruhannya adalah sebagai satu kesatuan wilayah budaya. Pengertian istilah
ini juga digunakan oleh William Marsden (1754-1836), seorang gewestelijk
secretaris Bengkulen. Sementara itu, Gubernur Jenderal Jawa di zaman pendudukan
Inggris (1811-1816), Sir Stanford Raffles (1781-1826) dalam bukunya yang
bertajuk The History of Java, menyebut
juga istilah Indonesia, dengan pengertian yang sama. Kesatuan kepulauan itu disebut dan dijelaskan
pula oleh John Crawfurd (1783-1868),
seorang pembantu Raffles.
Pada awalnya, istilah Indonesia hanya
digunakan sebagai istilah ilmu pengetahuan saja. Namun, ketika pergerakan nasional muncul di
sini, nama ini digunakan secara resmi oleh para pemuda Indonesia untuk
mengganti istilah Nederlandsch-Indië.
Organisasi yang pertama kali memakai istilah Indonesia adalah Perhimpunan Indonesia, yaitu satu perkumpulan
mahasiswa di Negeri Belanda.
Di zaman penjajahan Belanda, oleh tokoh-tokoh
nasional, telah dicoba mengganti istilah Nederlandsch-Indië dengan istilah
Indonesia--juga Inboorling, Inlander, dan Inheemsche dengan Indonesiër. Namun
pemerintah Belanda tetap dengan pendiriannya, dengan alasan yuridis.
Namun setelah Undang-undang Dasar Belanda diubah, sejak 20 September 1940,
istilah Nederlandsch-Indië diubah menjadi Indonesië.
Selain istilah Indonesia, dikenal pula
istilah sejenis yang juga merujuk kepada pengertian Indonesia. Istilah itu adalah Nusantara. Istilah ini awal kali dikemukakan oleh Patih
Gadjah Mada, seorang panglima kerajaan Majapahit di abd ke-12, ketika ia
mengucapkan Sumpah Palapa. Istilah
Nusantara ini mengandung makna kawasan pulau-pulau yang terletak di antara dua
samudera dan dua benua. Berdasarkan
sejarah pula, kawasan Nusantara pernah diperintah oleh dua kerajaan besar,
yaitu Kerajaan Melayu Sriwijaya, dan Kerajaan Jawa Majapahit.
Indonesia adalah sebuah negara bangsa yang
merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.
Indonesia sebelumnya adalah kawasan-kawasan kepulauan yang mempunyai
berbagai sistem pemerintahan kerajaan yang berdiri sendiri. Adapun secara kesejarahan, Indonesia melewati
masa-masa animisme dan dinamisme hingga ke abad pertama Masehi. Kemudian datanglah kebudayaan Hindu dan
Buddha sejak abad pertama hingga kemudian berkembang sampai abad ketiga belas. Islam pula mulai menampakkan pengaruhnya yang
begitu luas dalam kebudayaan Indonesia sejak abad ketiga belas. Kemudian bangsa-bangsa Eropa terutama dimulai
dari Portugis, disusul Belanda dan Inggris menjajah kawasan ini sejak kurun
abad keenam belas. Yang paling lama
menjajah Indonesia adalah Belanda, kurang lebih sekitar tiga setengah
abad. Kemudian terjadi pula penjajahan
secara singkat oleh Jepang yaitu di tahun 1942 sampai 1945. Kemudian merdekalah Indonesia, berkat rahmat
Tuhan Yang Maha Kuasa disertai dengan perjuangan fisik dan politik oleh para
pemimpinnya.
Pada masa sekarang ini, Indonesia sebagai
sebuah negara bangsa merupakn sebuah negara yang sistem pemerintahannya
berbentuk republik, dengan sistem yang dianut demokrasi. Landasan ideologinya Pancasila dan landasan
konstitusionalnya Undang-undang Dasar 1945.
Pemerintahan dan negara langsung dipimpin seorang presiden, dengan
sistem kabinet presidensial. Indonesia
secara kewilayahan adalah terbentang dari 6 derajat Lintang Utara sampai 11
derajat Lintang Selatan, serta 95 derajat Bujur Timur sampai 145 derajat Bujur
Timur. Terbentang dari Sabang sampai
Merauke, serta Timor sampai ke Talaud.
Indonesia adalah sebagai satu kesatuan ideologi, politik, sosial,
ekonomi, pertahanan, dan kemanan nasional.
Jumlah penduduk Indonesia sekarang ini adalah sekitar 240 juta
jiwa. Agama resmi Islam, Katolik,
Protestan, Hindu, Budha, ditambah aliran-aliran kepercayaan.
Indonesia kini sedang mengalami
masalah-masalah ekonomi, politik dan pertikaian
bernuansa agama di dalam negeri, dan beberapa daerah sedang berusaha
untuk mendapatkan kemerdekaan, yaitu Aceh dan Papua. Timor Timur mendapatkan
kemerdekaan pada tahun 2002 setelah 24 tahun dikuasai Indonesia dan 3 tahun di
bawah administrasi PBB. Pada Desember
2004 dan Maret 2005, Aceh dan Nias dilanda dua gempa bumi besar yang totalnya
menewaskan ratusan ribu jiwa. (Lihat gempa bumi Samudra Hindia 2004 dan gempa bumi Sumatra Maret 2005.)
Kejadian ini disusul oleh gempa bumi di Yogyakarta dan tsunami yang menghantam
pantai Pangandaran dan sekitarnya, serta banjir lumpur di Sidoarjo pada 2006
yang tidak kunjung terpecahkan.
Seperti juga di negara-negara demokrasi
lainnya, sistem politik di Indonesia
didasarkan pada Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Kekuasaan legislatif dipegang oleh sebuah lembaga bernama Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) yang terdiri dari
dua badan yaitu DPR yang
anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil Partai Politik dan DPD
yang anggota-anggotanya mewakili
provinsi yang ada di Indonesia. Setiap daerah diwakili oleh 4 orang yang
dipilih langsung oleh rakyat di daerahnya
masing-masing.
Penduduk Indonesia dapat dibagi secara garis
besar dalam dua kelompok. Di bagian
barat Indonesia penduduknya kebanyakan adalah suku Melayu sementara di
timur adalah suku Papua, yang mempunyai akar di kepulauan Melanesia. Banyak
penduduk Indonesia yang menyatakan
dirinya sebagai bagian dari kelompok suku yang lebih spesifik, yang dibagi menurut bahasa dan asal
daerah, misalnya Jawa, Sunda, atau Batak.
Islam adalah agama mayoritas yang dipeluk oleh sekitar 85,2% penduduk
Indonesia, yang menjadikan Indonesia
negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Sisanya beragama Protestan (8,9%), Katolik
(3%), Hindu (1,8%), Buddha (0,8%), dan
lain-lain (0,3%). Kebanyakan penduduk Indonesia bertutur dalam bahasa daerah
sebagai bahasa ibu, namun bahasa resmi Indonesia, bahasa Indonesia, diajarkan
di seluruh sekolah-sekolah di negara ini dan dikuasai oleh hampir seluruh
penduduk Indonesia.
Kebudayaan Nasional Indonesia
Sebagai sebuah negara bangsa, Indonesia telah
meletakkan dasar konstitusionalnya mengenai kebudayaan nasional, seperti yang
termaktub dalam pasal 32 Undang-undang Dasar 1945. Bahkan lambang negara
Indonesia, Garuda Pancasila merentangkan tulisan Bhinneka Tunggal Ika (yang
artinya biar berbeda-beda tetapi tetap satu).
Selengkapnya pasal 32 ayat (1) dan (2) berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32
(1) Negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. ****)
(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa
daerah sebagai kekayaan budaya nasional. ****)
Pasal 32 UUD 1945 yang diamandemen pada kali
yang keempat tersebut di atas, pada pasal (1)
memberikan arahan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia
di tengah peradaban dunia, dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengem-bangkan nilai-nilai budayanya. Artinya bangsa Indonesia
sadar bahwa budaya nasional mereka berada di dalam arus globalisasi, namun
untuk mempertahankan jati diri masyarakat diberi kebebasan dan bahkan sangat
perlu memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya (tradisi atau etniknya).
Pada pasal (2) pula, negara menghormati dan memelihara
bahasa daerah sebagai kekayaan budaya
nasional. Dengan demikian jelas bagi kita bahwa bahasa daerah (dan juga
kesenian atau budaya daerah/etnik) sebagai bahagian penting dari kebudayaan
nasional. Artinya kebudayaan nasional dibentuk oleh kebudayaan (bahasa) etnik
atau daerah--bukan kebudayaan asing. Dengan demikian jelas bahwa Indonesia
memiliki budaya nasional, yang berasal dari budaya etnik, bukan penjumlahan
budaya etnik.
Beberapa dasawarsa menjelang terbentuknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia, para intelektual dan aktivis budaya kita
telah memiliki gagasan tentang kebudayaan nasional. Dalam konteks ini, mereka
mengajukan pemikirannya masing-masing sambil berpolemik apa itu kebudayaan
nasional dan ke mana arah tujuannya. Pelbagai tulisan membahas gagasan itu dari
berbagai sudut pandang, yang terbit dalam kurun masa dekade 1930-an.
Sebahagian tulisan ini merupakan hasil dari
Permusyawaratan Perguruan Indonesia di Surakarta (Solo), pada 8 sampai 10 Juni
1935. Di antara intelektual budaya yang mengemukakan gagasannya adalah: Sutan
Takdir Alisyahbana (STA) pengarang dan juga mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum
(Rechtshogeschool) di Jakarta; Sanusi Pane, seorang pengarang; Soetomo, dokter
dan pengarang; Tjindarbumi, wartawan; Poerbatjaraka, pakar filologi; Ki Hajar
Dewantara, pendiri dan pemimpin perguruan nasional Taman Siswa (lihat
Koentjaraningrat 1995).
Gagasan-gagasan mereka secara garis besar
adalah sebagai berikut. Sutan Takdir Alisyahbana yang berasal dari Sumatera,
berpendirian bahwa gagasan kebudayaan nasional Indonesia, yang dalam artikelnya
diistilahkan dengan Kebudayaan Indonesia Raya, sebenarnya baru mulai muncul dan
disadari pada awal abad kedua puluh, oleh generasi muda Indonesia yang berjiwa
dan bersemangat keindonesiaan. Menurutnya, sebelum gagasan Indonesia Raya
disadari dan dikembangkan, yang ada hanyalah kebudayaan-kebudayaan suku bangsa
di daerah. STA menganjurkan agar generasi muda Indonesia tidak terlalu
tersangkut dalam kebudayaan pra-Indonesia, dan dapat membebaskan diri dari
kebudayaan etniknya--agar tidak berjiwa provinsialis, tetapi dengan semangat
Indonesia baru. Kebudayaan Nasional Indonesia merupakan satu kebudayaan yang
dikreasikan, yang baru sama sekali, dengan mengambil banyak unsur dari
kebudayaan yang kini dianggap paling universal, yaitu budaya Barat. Unsur yang
diambil terutama dalam 4 bidang yaitu teknologi, orientasi ekonomi, organisasi,
dan sains (ilmu pengetahuan). Orang Indonesia harus mempertajam rasio akalnya
dan mengambil dinamika budaya Barat.
Pandangan ini mendapat sanggahan sengit dari beberapa pemikir lainnya.
Sanusi Pane yang juga berasal dari Sumatera,
menyatakan bahwa kebudayaan nasional Indonesia sebagai kebudayaan Timur, harus
mementingkan aspek kerohanian, perasaan, dan gotong-royong, yang bertentangan
dengan kebudayaan Barat yang sangat berorientasi kepada materi,
intelektualisme, dan individualisme. Sanusi Pane tidak begitu setuju dengan STA
yang dianggapnya dalam menggagas kebudayaan nasional Indonesia terlalu
berorientasi kepada kebudayaan Barat dan harus membebaskan diri dari kebudayaan
pra-Indonesia. Karana itu berarti pemutusan diri dari kesinambungan sejarah
budaya dalam rangka memasuki zaman Indonesia baru.
Poerbatjaraka menganjurkan agar orang
Indonesia banyak mempelajari sejarah kebudayaannya, agar dapat membangun
kebudayaan yang baru. Kebudayaan Indonesia baru itu harus berakar kepada
kebudayaan Indonesia sendiri atau kebudayaan pra-Indonesia.
Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa
kebudayaan nasional Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Soetomo menganjurkan pula agar dasar-dasar
sistem pendidikan pesantren dipergunakan sebagai dasar pembangunan pendidikan nasional
Indonesia, yang ditentang oleh STA. Sementara itu, Adinegoro mengajukan sebuah
gagasan yang lebih moderat, yaitu agar pendidikan nasional Indonesia didasarkan
pada kebudayaan nasional Indonesia, sedangkan kebudaya-annya harus memiliki
inti dan pokok yang bersifat kultur nasional Indonesia, tetapi dengan kulit
(peradaban) yang bersifat kebudayaan Barat.
Sebuah gagasan akan dilanjutkan ke dalam
praktik, agar fungsional dalam masyarakat pendukungnya. Fungsi sebuah gagasan bisa saja relatif
sedikit, namun boleh pula menjadi banyak. Demikian pula gagasan kebudayaan
nasional memiliki berbagai fungsi dalam negara Indonesia merdeka. Koentjaraningrat (1995) seorang ilmuwan
antropologi kenamaan Indonesia, menyebutkan bahwa kebudayaan nasional Indonesia
memiliki dua fungsi, yaitu: (i) sebagai suatu sistem gagasan dan pralambang
yang memberi identitas kepada warga negara Indonesia dan (ii) sebagai suatu
sistem gagasan dan pralambang yang dapat dipergunakan oleh semua warga negara
Indonesia yang bhinneka itu, untuk saling berkomunikasi, sehingga memperkuat
solidaritas. Dalam fungsinya yang pertama, kebudayaan nasional Indonesia
memiliki tiga syarat: (1) harus merupakan hasil karya warga negara Indonesia,
atau hasil karya orang-orang zaman dahulu yang berasal dari daerah-daerah yang
sekarang merupakan wilayah negara Indonesia; (2) unsur itu harus merupakan
hasil karya warga negara Indonesia yang tema pikirannya atau wujudnya
mengandung ciri-ciri khas Indonesia; dan (3) harus sebagai hasil karya warga
negara Indonesia lainnya yang dapat menjadi kebanggaan mereka semua, sehingga
mereka mau mengidentitaskan diri dengan kebudayaan tersebut.
Dalam fungsi kedua, harus ada tiga syarat
yaitu dua di antaranya sama dengan syarat nomor satu dan dua fungsi pertama, syarat nomor tiga yaitu harus
sebagai hasil karya dan tingkah laku warga negara Indonesia yang dapat dipahami
oleh sebahagian besar orang Indonesia yang berasal dari kebudayaan suku-suku
bangsa, umat agama, dan ciri keturunan ras yang aneka warna, sehingga menjadi
gagasan kolektif dan unsur-unsurnya dapat berfungsi sebagai wahana komunikasi
dan sarana untuk menumbuhkan saling pengertian di antara aneka warna orang
Indonesia, dan mempertingi solidaritas bangsa.
Menurut penulis, dalam proses pembentukan
budaya nasional Indonesia, selain orientasi dan fungsinya, juga harus
diperhatikan keseimbangan etnisitas, keadilan, dan kejujuran dalam
mengangkatnya dari lokasi daerah (etnik) ke tingkat nasional.
Sebaiknya proses ini terjadi secara wajar, alamiah dan natural, dan
bukan bersifat pemaksaan pusat terhadap daerah atau sebaliknya. Di samping itu
proses itu harus pula menyeimbangkan antara bhinneka dan ikanya budaya
Indonesia. Perlu disadari pula bahwa budaya nasional bukan penjumlahan
kuantitatif budaya etnik Indonesia. Budaya nasional terjadi sebagai proses
dialogis antara budaya etnik dan setiap etnik merasa memilikinya.
Kearifan Lokal dalam Konteks Pembentukan
Karakter Bangsa
Setelah diuraikan secara panjang lebar tentang eksistensi Indonesia sebagai bangsa dan
kebudayaan nasionalnya, maka berikut ini akan dicari dan dikaji bagaimana
kearifan-kearifan lokal yang ada di Indonesia dalam konteks pembentukan
karakter bangsa. Kearifan-kearifan lokal di Indoensia ini sangat kaya, beragam,
dan menyebar di keseluruhan kawasan di Indonesia. Kearifan lokal ini umumnya
dapat dijumpai dalam adat. Istilah inilah yang menjadi dasar dari kearifan
lokal bangsa Indonesia. Adat dijumpai dalam kebudayaan etnik di seluruh
Indonesia. Adat masyarakat Nusantara ini, memiliki konsep-konsepnya sendiri
pula. Di Aceh adatnya disebut dengan adat bak petumeuruhom hukom bak syiah
kuala. Dalam kebudayaan Minangkabau adat dikonsepkan sebagai adat basandikan
syarak, syarak basandikan kitabullah, syarak mangato, adat mamakai. Berikut
dideskripsikan konsep kearifan lokal (adat) Melayu.
Menurut
Lah Husni adat pada etnik
Melayu tercakup dalam empat
ragam, iaitu: (1) adat yang
sebenar adat; (2) adat yang
diadatkan; (3) adat
yang teradat, dan
(4) adat istiadat. (1) Adat yang sebenar adat adalah apabila
menurut waktu dan keadaan, jika dikurangi akan merusak, jika dilebihi akan
mubazir (sia-sia). Proses ini berdasar kepada: (a)
hati nurani manusia budiman, yang
tercermin dalam ajaran adat: Pisang emas bawa belayar; Masak sebiji
di dalam peti; Hutang emas dapat dibayar; Hutang budi dibawa mati. (b)
kebenaran yang sungguh ikhlas,
dengan berdasar pada: berbuat karena Allah bukan karena ulah; (c) keputusan
yang berpadan, dengan berdasar
kepada: hidup sandar-menyandar, pisang
seikat digulai sebelanga, dimakan bersama-sama. yang
benar itu harus dibenarkan,
yang salah disalahkan.
Adat murai berkicau, tak
mungkin menguak. Adat lembu
menguak, tak mungkin berkicau.
Adat sebenar adat ini menurut
konsep etnosains Melayu adalah: penuh tidak melimpah, berisi tidak kurang,
yang besar dibesarkan, yang tua
dihormati, yang kecil disayangi,
yang sakit diobati, yang
bodoh diajari, yang benar diberi
hak, yang kuat tidak melanda, yang tinggi
tidak menghimpit, yang
pintar tidak menipu,
hidup berpatutan, makan
berpadanan. Jadi ringkasnya, hidup
itu seharusnya harmonis, baik mencakup diri sendiri,
seluruh negara, dan lingkungan
hidupnya. Tidak ada hidup
yang bernafsi-nafsi. Inilah adat
yang tidak boleh berubah (Lah Husni, 1986:51).
(2)
Adat yang diadatkan adalah adat itu
bekerja pada suatu landasan
tertentu, menurut mufakat
dari penduduk daerah tersebut--kemudian pelaksanaannya diserahkan
oleh rakyat kepada yang dipercayai mereka. Sebagai pemangku adat
adalah seorang raja atau penghulu. Pelaksanaan
adat ini wujudnya adalah
untuk kebahagiaan penduduk,
baik lahir ataupun batin, dunia
dan akhirat, pada saat itu dan saat yang akan
datang. Tiap-tiap negeri itu
mempunyai situasi yang berbeda
dengan negeri-negeri lainnya,
lain lubuk lain ikannya
lain padang lain belalangnya. Perbedaan
keadaan, tempat, dan kemajuan
sesuatu negeri itu membawa resam dan adatnya sendiri, yang sesuai dengan
kehendak rakyatnya, yang diwarisi dari
leluhurnya. Perbedaan itu
hanyalah dalam lahirnya saja,
tidak dalam hakikinya. Adat yang diadatkan ini
adalah sesuatu yang
telah diterima untuk menjadi kebiasaan atau peraturan yang
diperbuat bersama atas mufakat menurut ukuran yang patut dan benar, yang dapat
dimodifikasi sedemikian rupa secara fleksibel. Dasar
dari adat yang diadatkan ini
adalah: penuh tidak melimpah,
berisi tidak kurang, terapung
tidak hanyut, terendam tidak basah (Lah Husni, 1986:62).
(3)
Adat yang teradat adalah kebiasaan-kebiasaan yang secara
berangsur-angsur atau cepat
menjadi adat. Sesuai dengan
pepatah: sekali air bah,
sekali tepian berpindah, sekali zaman beredar, sekali adat berkisar. walau
terjadi perubahan adat itu, inti adat tidak akan lenyap: adat pasang
turun-naik, adat api
panas, dalam gerak
berseimbangan, di antara akhlak dan pengetahuan. Perubahan itu hanya terjadi dalam
bentuk ragam, bukan dalam hakiki dan
tujuan semula. Umpamanya jika dahulu orang memakai tengkuluk
atau ikat kepala dalam suatu majelis, kemudian sekarang memakai kopiah itu
menjadi pakaian yang teradat. Jika dahulu berjalan berkeris atau
disertai pengiring, sekarang
tidak lagi. Jika dahulu warna
kuning hanya raja yang boleh
memakainya, sekarang siapa pun
boleh memakainya (Lah Husni, 1986:62).
(4)
Adat istiadat adalah
kumpulan dari berbagai kebiasaan, yang
lebih banyak diartikan tertuju kepada upacara khusus seperti adat:
perkawinan, penobatan raja, dan pemakaman
raja. Jika hanya adat saja
maka kecenderungan pengertiannya
adalah sebagai himpunan hukum, misalnya: hukum
ulayat, hak asasi dan sbagainya. Dalam konteks kebudayaan Melayu, adat
istiadat ini mencakup daur hidup manusia Melayu, yang tercermin dalam upacara
melenggang perut saat perempuan Melayu hamil. Kemudian upacara kelahiran,
akikah, manabalkan nama, bercukur, dan memijak tanah. Seterusnya upacara
khitanan pada saat akil baligh. Kemudian ada pula upacara perkawinan adat
Melayu, yang mencakup tahapan-tahapan seperti merisik kecil, meminang, jamu
sukut, akad nikah, hempang pintu, hempang batang, hempang kipas, duduk di
pelaminan, mandi bedimbar, meminjam pengantin, dan setersnya. Selanjutnya ada
pula upacara kematian, membaca Yassin, kirim doa, dan seterusnya. Dalam
kebudayaan Melayu terdapat juga upacara-upacara yang bersifat menyatu dengan
alam (kosmologi) seperti mulaka nukah, mulaka ngerbah, jamu laut, mandi Syafar,
dan lain-lainnya. Yang jelas adat istiadat Melayu lahir karena respins terhadap
alam.
Contoh
Kearifan Lokal yang ada di Indonesia
-Dalam adat Melayu kearifan-kearifan lokal
dalam konteks membentuk kepribadian dan kebangsaan, sangat lekat dengan konsep adat yang diadatkan. Bahwa orang
Melayu sangatlah menghargai pemimpin seperti sultan, raja, perdana menteri,
menteri, panglima, penghulu, ketua mukim, dan lain-lainnya. Orang Melayu perlu
memiliki pemimpin yang adil, bijaksana, bisa diperaya (amanah), selalu berusaha
untuk benar dalam hidup, dan lain-lainnya. Pemimpin menjadi sebuah kewajiban
dalam tata pemerintahan dan politik dalam kebudayaan Melayu. Seperti tercermin
dalam ajaran adat: Apa tanda Melayu jati/ mengangkat pemimpin bijak bestari/
Apa tanda Melayu jati/ Pemimpin dan ulama mesti bersebati. Dengan adanya
pemimpin dan rakyat yang dipimpin menjadikan umat Melayu memiliki tata
pemerintahnya dan selanjutnya ketika nasionalisme muncul mereka membentuk
negara bangsa. Ini salah satu karakter kepemimpinan yang bisa diterapkan dalam
konteks menuju karakter bangsa.
Dalam adat Melayu juga dikenal kearifan
lokal, bahwa hidup dikandung adat, biar mati anak asal jangan mati adat.
Artinya bahwa orang Melayu sangatlah memperhatikan kesinambungan dan
pendidikkan kebudayaan. Bila adat itu lestari maka akan lestarilah kebudayaan
Melayu. Jika keturunan kita berbuat salah maka kita jangan segan memberikan
hukuman atau sangsi sosial sebagaimana yang berlaku.
-Bukan saja kearifan lokal Melayu, beberapa
kelompok etnik di Nusantara ini juga memiliki kearifan lokal yang berkaitan
dengan pembentukan karakter bangsa. Misalnya pada etnik Nias, sistem
penggolongan derajat manusia berasaskan tingkat-tingkat kehidupan, dimulai dari
janin sampai kehidupan akhirat.
Pengertian bosi ini mencakup dua belas tingkat kehidupan. Dalam konteks ini, bosi nantinya mengarahkan
manusia untuk berusaha mencapai tingkat tertinggi, agar setelah ia mati, akan
memperoleh kebahagiaan di dalam teteholi ana’a (sorga). Adapun pembagian bosi itu adalah: fangaruwusi
(memperlihatkan kandungan); tumbu (lahir); famatoro doi (memberi nama); famoto
(sirkumsisi); falowa (kawin); famadadao omo (membangun rumah); fa’aniha banua
(memasuki persekutuan desa); famaoli (menjadi anggota adat); fangai toi
(mengambil gelar); fa’amokho (kekayaan); mame’e go banua (menjamu orang se
desa) dan mame’e go nori (menjamu orang satu ori, beberapa desa (Dasa Manao et
al. 1998:195-196). Inti dari kearifan lokal itu adalah, bahwa sebagai sebuah
suku dan juga bangsa setiap orang Nias selalu berinteraksi dan menjadi bahagian
komunitas sosial. Dalam hal ini seorang pemimpin sosial mestilah mampu
memberikan rezekinya kepada orang lain. Seorang pemimpin adalah tangan di atas
bukan di bawah.
-Selain itu kearifan lokal dalam konteks
pembangunan karakter bangsa juga terdapat dalam kebudayaan Batak Toba. Sebagai
satu kesatuan etnik, orang-orang Batak Toba mendiami suatu daerah kebudayaan
(culture area) yang disebut dengan Batak Toba.
Mereka disebut orang Toba.
Menurut Vergouwen, masyarakat Batak Toba mengenal beberapa kesatuan
tempat yaitu: (1) kampung, lapangan empat persegi dengan halaman yang bagus dan
kosong di tengah-tengahnya, (2) huta, “republik” kecil yang diperintah seorang
raja, (3) onan, daerah pasar, sebagai satu kesatuan ekonomi, (4) homban (mata
air), (5) huta parserahan, kampung induk dan lain-lain (Vergouwen
1964:119-141). Inti ajaran kearifan lokal seperti terurai di atas adalah bahwa
kita hidup adalah sebagai makhluk sosial yang nemerlukan dan diperrlukan oleh
orang lain baik di peringkat kelompok sosial kecil sampai yang besar, termasuk
bernegara.
-Contoh kearifan dan
pengetahuan local yang lain adalah di Sulawesi Selatan pada masyarakat adat
Tanatowa, Kajang, Kabupaten Bulukumba. Masyarakat adat ini memiliki bentuk
perilaku positif dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitar, yang
bersumber dari nilai-nilai
agama, adat-istiadat, dan petuah-petuah ba-ik
yang diwariskan secara lisan maupun bukan lisan. Sumber nilai tersebut dikenal
dengan nama Pasang ri Kajang, berupa pesan leluhur (teks lisan) yang berisi 120
pasal, dan 19 pasal di antaranya berisi sistem pengelolaan lingkungan. Salah
satu pasal dari pesan tersebut berbunyi: Anjo boronga anre nakkulle nipanraki.
Punna nipanraki boronga, nupanraki kalennu (Hutan tidak boleh dirusak. Jika
engkau merusaknya, maka sama halnya engkau merusak dirimu sendiri). Selain itu,
kita ju-ga bisa melihat pasal lain yang berbunyi: Anjo natahang ri boronga
karana pasang. Rettopi tanayya rettoi ada (Hutan bisa lestari karena dijaga
oleh adat. Bila bumi hancur, maka hancur pula adat).
Dalam kaitan itu, pada
masyarakat adat ini dikenal adanya pembagian ka-wasan, yaitu pertama, kawasan
untuk budidaya untuk dinikmati bersama; kedua, kawasan hutan kemasyarakatan
yang setiap warga diperbolehkan menebang pohon, tetapi harus terlebih dahulu menanam
pohon pengganti; dan ketiga, kawasan hutan adat (borong karamaq) yang sama
sekali tidak boleh dirambah (Basri Andang, 2006). Pelanggaran terhadap
ketentuan adat ini akan dijatuhi sanksi adat, dalam bentuk pangkal cambuk atau
denda uang dalam jumlah tertentu, sesuai dengan ada’ tanayya, sebuah sistem
peradilan adat Ka-jang. Mereka juga memiliki lembaga adat yang disebut dengan
tau limayya (or-ganisasi yang beranggotakan lima orang), dipimpin oleh
seseorang yang bergelar ammatowa, yang tugas utamanya mengatur penebangan
pohon, pengambilan rotan, dan pemanenan lebah madu di hutan adat, serta
penangkapan udang.
Kearifan masyarakat
adat Kajang dalam mengelola sumber daya alamnya memang diartikulasikan lewat
media-media tradisional seperti mitos, ritual, dan pesan-pesan leluhur, tetapi
sesungguhnya me-ngandung pengetahuan ekologis, yaitu sistem pengetahuan
mengenai fungsi hutan sebagai penyeimbang ekosistem. Bahkan uraian di atas
memperlihatkan empat ele-men kearifan lingkungan, yaitu sistem ni-lai, teknologi,
dan lembaga adat. Tidak hanya pada masyarakat adat Kajang, di Sulawesi Selatan
terdapat sejumlah masyarakat lokal yang memiliki kearifan lingkungan, seperti
lontaraq (kitab) Sawitto yang menyimpan pengetahuan tentang cara me-motong
pohon untuk tiang rumah, dan per-lunya mengganti pohon yang ditebang dengan
pohon baru; peran lembaga adat uwaq atau uwattaq pada masyarakat Towani
Tolotang di Kabupaten Sidenreng Rappang dalam mengontrol pemanfaatan sumber daya
alam; peran ritual dan aluk pada orang Toraja yang berkaitan dengan
tumbuh-tumbuhan dan binatang; upacara macceraq tasiq (membersihkan laut) yang
pernah dipraktikkan oleh orang Luwu di masa lalu; dan lain-lain. Dalam kaitan
dengan upaya konservasi atau pengembangan sistem pengelolaan lingkungan yang
berkelan-jutan, bentuk-bentuk kearifan lingkungan sebagaimana dikemukakan ini
menjadi penting dan dapat disinergikan dengan sistem pengetahuan modern. Hal
ini juga telah ditegaskan dalam UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup bahwa aspek perilaku manusia me-rupakan bagian yang integral
dalam pengelolaan lingkungan hidup. Contoh konservasi yang menarik dikemukakan
adalah inisiatif masyarakat dalam peng-hijauan bakau di Tongke-tongke, pesisir
Timur Kabupaten Sinjai pada paruh awal tahun 1990-an (Robinson & Paeni,
2005). Penanaman bakau ini dimaksudkan untuk melindungi kampung dan tambak masyarakat
setempat dari abrasi. Mereka membuat aturan penebangan pohon yang dilakukan
dalam siklus tujuh tahunan. Usa-ha ini melahirkan dampak ekonomis, di mana
penduduk dapat memperoleh tam-bahan pendapatan ekonomi keluarga dengan
mengumpulkan akar-akar bakau yang sudah mati untuk kebutuhan kayu bakar rumah
tangga. Namun, belakangan usaha ini melahirkan konflik yang melibatkan
masyarakat menyangkut status kepemilikan antar Dinas Kehutanan Kabupaten Sinjai
yang memiliki otoritas untuk mengatur penebangan, dan Dinas Perikanan yang
memiliki wewenang menebang bakau untuk dijadikan tambak.
Kembali pada system hukum yang ada, bahwa sumberdaya alam yang me-nguasai hak hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, maka partisipasi/ keberadaan masyarakat local baik secara individu mau-pun komunal diabaikan dan kalah oleh ke-pentingan pemodal (perusahaan dan agen kapitalisme global). Pemerintah lupa akan pentingnya tradisi atau kebudayaan masyarakat dalam mengelola lingkungan, seringkali budaya lokal dianggap sesuatu yang sudah ketinggalan di abad sekarang ini, sehingga perencanaan pembangunan se-ringkali tidak melibatkan masyarakat, padahal mereka menggantungkan hidupnya juga dari sumber daya alam itu, sehingga banyak terjadi konflik konflik.
Kembali pada system hukum yang ada, bahwa sumberdaya alam yang me-nguasai hak hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, maka partisipasi/ keberadaan masyarakat local baik secara individu mau-pun komunal diabaikan dan kalah oleh ke-pentingan pemodal (perusahaan dan agen kapitalisme global). Pemerintah lupa akan pentingnya tradisi atau kebudayaan masyarakat dalam mengelola lingkungan, seringkali budaya lokal dianggap sesuatu yang sudah ketinggalan di abad sekarang ini, sehingga perencanaan pembangunan se-ringkali tidak melibatkan masyarakat, padahal mereka menggantungkan hidupnya juga dari sumber daya alam itu, sehingga banyak terjadi konflik konflik.
Konflik tersebut bisa
kita lihat dari sejarah pengeksploitasian sumberdaya alam dan hutan terjadi
antara masyarakat yang pro dan kontra, antara masyarakat yang dirugikan dengan
pihak perusahaan yang dalam hal ini sudah mendapatkan izin eks-ploitasi oleh
Negara, dan juga antara masyarakat dengan Negara sendiri seperti yang terjadi
dalam eksploitasi mineral di Papua dimana masyarakat local berhadapan dengan
Freeport, masyarakat Sumatera Utara dengan Indorayon, Masyarakat Sum-bawa
dengan Newmont Nusa Tenggara, dan lain sebagainya. Apabila kita melihat kasus
tersebut, bisa diketahui bahwa sumber konflik tersebut antara lain per-tama,
karena menguatnya intervensi modal dalam system ekonomi nasional, sebab
kemajuan Negara dilihat dari pendapatan perkapitanya, sehingga berujung pada
pemihakan yang berlebihan pada pemodal. Kedua, dominannya Negara atau
Peme-rintah dalam memposisikan diri sebagai yang paling berhak atas penentuan
arah pembangunan, sehingga sentralisasi kepu-tusan dan kebijakan pemerintah
menjadi hal yang wajar saja, tidak memperdulikan keberadaan masyarakat lokal
yang juga mempunyai andil dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut yang
melahirkan me-kanisme penaklukan terhadap mereka. Pengetahuan mereka dianggap
tidak ilmiah dan tidak mempunyai metode dan tidak bisa dipertanggung jawabkan,
sehingga mereka menjadi termajinalkan. Ketiga, melemahnya jaminan dan
perlindungan formal Negara terhadap hak-hak masyarakat local dalam perundang-undangan
nasional.Berbagai masalah, seperti Freeport, telah lama mendapat perhatian para
ahli yang tergolong strukturalis. Salah satu pendekatan strukturalis adalah
pendekatan aktor yang diperkenalkan Bryant and Beiley melalui buku yang
berjudul The Third World Political Ecology (2001). Pendekatan ini berpijak pada
konsep politicized environment yang memiliki asumsi bahwa persoalan lingkungan
tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi. Jadi
masalah lingkungan bukanlah masalah teknis penge-lolaan semata.
Penutup
Dari contoh-contoh di atas tergambar dengan jelas bahwa kearifan lokal
masyarakat Nusantara terkodifikasi dalam adat. Adat masyarakat Nusantara ini
memiliki konsep-konsepnya tersendiri di setiap kelompok etnik. Dalam kearifan
lokal Nusantara terdapat nilai-nilai untuk membentuk karakter bangsa.
Nilai-nilai tersebut mencakup: sistem kepemimpinan, hubungan sosial, hidup
secara berkelompok, pentingnya berbagi materi dan pengalaman kepada orang lain,
belajar terus dari alam, nilai-nilai gotong royong, bagaimana menghadapi
perubahan dan globalisasi, sadar akan makhluk yang mulai dari kecil, dewasa,
sampai meninggal, hidup tidak boleh sombong, dan seterusnya.
Sebagai sebuah bangsa yakni bangsa Indonesia kita berkarakter positif
yang dapat digali nilai karakter berbangsa itu dari kearifan lokal (etnik). Di
antara karakter bangsa itu adalah: bersama secara sosial dan bergotong royong,
menerapkan nilai-nilai kebenaran berdasarkan agama dan adat, memiliki pemimpin,
menghormati pemimpin, bertindak secara benar, amanah, menjaga persatuan, tidak
menghujat, dan seterusnya. Dengan demikian, maka kearifan lokal ini perlu terus
digali dalam rangka menumbuhkan karakter berbangsa dan bernegara. Wassalam.
Sumber :